Bayangan itu masih tergambar jelas dalam ingatan, bayangan seorang lelaki bertubuh tegap, berkaca mata dan berkulit sawo matang. Kejadiannya sudah lama berlalu namun bayangan lelaki itu tak pernah terhapus dari dalam banak.
Langkahku tergesa-gesa menyusuri rel kereta di sebuah tempat yang teramat asing dan baru pertama kali ku injak. Hari sudah hampir gelap saat itu, suara adzan Maghrib sudah mulai terdengar bersahutan dari beberapa mesjid atau mushala di perkampungan dekat rel kereta. Langkahku semakin tak teratur seirama dengan detak jantung yang bergemuruh keras, rasa takut menyerbu hebat. Keadaan begitu sunyi senyap, dan aku belum tahu dimana saat itu berada dan harus kemana ku temukan jalan menuju rumah . Tangan kecil yang kutuntun semakin ku pegang erat, Riri keponakanku yang baru berumur sekitar 5 tahun saat itu hanya diam seolah mengerti akan kebingungan dan ketakutanku.
Kakiku memdadak berhenti setelah sekian lama berjalan di tengah rel menyusuri kesunyian. Berbagai macam pikiran jelek bertubi-tubi hadir dalam kepala. Bagaimana kalau bertemu dengan orang yang berniat jahat?, bagaimana kalau tiba-tiba kereta lewat dan aku tak mampu untuk manghindarinya? dan…ah, begitu banyak pikiran jelek yang berkecamuk yang menjadikan kaki ini enggan untuk terus berjalan dan akhirnya memutuskan untuk berputar arah.
Dari kejauhan terlihat seorang lelaki berjalan menghampiri kami, tubuhnya tinggi besar mengenakan long jumper hijau tua sampai lutut, pegangantanganku semakin erat mengenggam tangan Riri yang terasa dingin. Saat itu aku telah siap untuk menerima kemungkinan buruk sekalipun. Apapun yang akan terjadi nanti adalah kehendak-Nya.
Ku coba tersenyun kearah lelaki itu saat ia tepat beada di depanku. “Nak jangan berjalan di sini sangat berbahaya” sapanya ramah . Kecurigaanku padanya sirna seketika. Segera ku tanyakan padanya kemana jalan menuju jalan raya menuju jatinegara. Ia menunjuk pada salah satu gang besar yang ada tak jauh dari tempat kami berdiri. “Masuk saja gang itu…kemudian lurus, kira2 500m sudah sampai di jalan besar, naik saja mikrolet no 10 dan turun di stasiun Jatinegara” sambungnya lagi.
Aku terdiam sejenak, darimana ku dapatkan uang untuk ongkos? Saat itu tak sepeserpun rupiah ku miliki. Dompet dan tasku semua ku titipkan pada adik bungsuku saat di kereta tadi. Kereta saat itu penuh sesak, ada KRL yang rusak dan penumpangnya semua dialihkan pada kereta yang kami tumpangi dari stasiun kota. Akhirnya kami berjejalan dalam satu kereta. Dan naasnya aku berdiri tepat didepan pintu, jadi saat kereta berhenti badanku tak mampu menahan arus penumpang yang berjejal keluar dan akhirnya aku tertinggal karena kereta sudah kembali melaju sebelum aku sempat naik kembali.
“Adek tak punya ongkos…?” suara lelaki itu membuyarkan lamunanku “Iya..” jawabku pendek “Ini…pakai saja buat ongkos” lelaki itu mengulurkan selembar uang seribuan dari dalam sakunya. “Terima kasih banyak Pak…” jawabku sambil terisak
Matahari sudah sampai di peraduannya saat aku tiba di rumah pakde ku di Jatinegara. Kehadiranku disambut dengan tangis oleh seisi rumah.
Ini terjadi sekitar tahun 1997 saat aku masih kelas 2 SMU saat itu. Ah…, terima kasih Ya..Allah..Engkau telah mempertemukanku dengan hamba-Mu yang shalih pada senja itu di rel kereta. Tak pernah terbayang olehku jika saat itu aku bertemu dengan orang yang berniat jahat, naudzubillah…
Terima kasih banyak pak…atas semua kebaikan yang telah bapak buat, semoga Allah swt akan membalasnya dengan seribu kebaikan dan seribu kebahagian … Amien.