Ayah adalah sebuah kata indah yang terukir disudut hati kita, mungkin kadang keberadaannya begitu jauh di sudut sana sehingga kadang kita kurang menyadari begitu berartinya kata indah itu ada dihati kita.
Bergantang-gantang peluhnya yang terbuang untuk membasahi langkah kita yang gersang. Senyuman kita adalah penghilang lelahnya, walau acapkali rengekan yang terdengar di telinganya saat ai tiba dirumah setelah seharian mencari sesuap nasi untuk anak dan istri.
Tak kenal putus asa, apapun akan dilakukannya selama itu masih halal. Berpanas dibawah terik mentari, menentang angin dan hujan yang mengguyur, dan bahaya akan dijalaninya.
Kerut dikeningnya kini gambaran begitu berliku jalan yang telah ia tempuh. Wajahnya teduh walau lelah masih tersisa disana. Damai terasa di jiwa saat kita tatap lekat matanya.
Ah…ayah, betapa saat ini kami begitu merindumu…..
Bagi siapa saja yang membaca goresanku ini marilah kita menyisihkan sedikit waktu untuk mengingatnya…… mendo’akannya …… Yaa Allah….buliran-buliran air mata yang menetes dari mataku kini tidaklah seberapa dibanding peluh yang mengucur dari tubuhnya untuk diriku… Sayangi dia yaa.. Allah……sayangi Ayahandaku tercinta selamanya…..
Malam ini langit larut dalam nestapa, sang bintang tak lagi menemaninya. wajahnya sendu memancarkan kepiluan.
Aku: "wahai langit mengapa kau begitu pilu menangisi sang bintang yang tak datang hari ini...?"
Langit: "pernahkah kau merasakan kehilangan seorang sahabat sepertiku...? itulah aku saat ini..."
Aku: "tetapi bukankah tadi kulihat ada cahaya terang kerlap kerlip bahkan lebih terang dari sang bintang, lebih indah...kadang merah, kadang kuning dan kadang hijau. warnamu akan lebih indah karenanya..."
Langit: "itu bukan bintang sahabatku, tetapi...lampu pesawat terbang tahu....!!!"
Aku: "ooooh....#*^&$#!!!"
Langit: "sahabat sejati tak akan mudah berpaling hanya karena ada yang lain yang lebih indah, persahabatan yang ditawarkan pesawat terbang ku terima dengan tangan terbuka tanpa melupakan sang bintang yang lebih dahulu singgah di hatiku..." Persahabatan dinilai dari keikhlasan hati untuk berbagi bukan dari kebendaan dan secantik apa cahaya yang dimilikinya.....
Dan rembulanpun tak punya hati Mati dan padam tanpa nurani Tengadah ku menatapnya Dimana lagi ..? Siapa lagi…? Adakah tersisa kasih, atau… jiwa yang penuh cinta pada sesama…..???
Ayam hitam biasanya banyak dicari oleh orang jaman dulu sebagai syarat untuk sesaji misalnya dan ada juga yang menggunakan darahnya sebagai obat dalam pengobatan alternative, tapi itu jaman dahulu waktu dokter dan sarana kesehatan belum sebanyak dan segampang sekarang. Ada yang menyebutnya sebagai ayam camani. Seluruh bagiannya berwarna hitam dari tulang, bulu, dan kulitnya.
Tapi ayam hitam yang satu ini lain dari ayam yang disebut barusan, aneh bin ajaib ayam yang satu ini menghitam sendiri di penggorengan. Mungkin karena terlalu lama bertapa dan menghangatkan diri di atas kompor kali ye…he..he..
Ceritanya, saking sibuknya benah-benah di dunia baruku (baca: blogku) jadi lupppaaaa dech kalo tadi sedang masak ayam kecap di dapur. (Astagfirullah...) Waktu berganti, masa berlalu…tiba-tiba bapaknya wawa teriak…"Duh….untung ga' kebakaran…, kirain ga' lagi masak…”
Ya Allah…asap telah mengepul memenuhi dapur, masih untung sih ayamnya blom hitam semua. Alhasil ..kita makan pake ayam kecap rasa gosong dech….:=) habis nich perut udah lapar banget, mau masak lagi males.. apalagi pergi ke hawker.
Ma….ayam itemnya enak ya.., wawa suka yang item-itemnya. Duh….makasih banget ya de kekecewaan mama jadi sedikit terobati dech soalnya masih ada yang suka sama ayam item made in mama….hehehe….
Bumi hari ini basah, air hujan menguyur menciptakan kesejukan. Panas yang setiap hari setia menemani Singapore menjadi tersisih. “ Kecil-kecil cabe rawit…, Singapore itu kecil tapi panas..” itu yang dikatakan pak cik sopir taxi yang mengantarku hari Minggu silam.
Hujan turun tutumplukan….:=) jadi inget lagu ini dech. Sudah dua hari ini Singapore diguyur hujan. Air yang turun dengan derasnya diselingi suara petir yang bersahutan. Apakah sang langit tengah murka atau mungkin hanya ngobrol sebentar dengan awan dan angin yang lewat di depannya..?
Rabbi…, hujan yang Kau anugrahkan hari ini adalah berkah bagi pohon yang dahaga. Ya Rabbi…hujani pula jalanku dengan cahaya-Mu selamanya, agar langkahku tak meraba-raba lagi. Sirami dahaga hati ini dengan kasih sayang-Mu yang kesejukkannya tetap abadi .
Ya Allah….lembutkan hati ini agar mudah mengaca ilmu-Mu…
“bub..bub…bubbles….bu…bu..bubbles…bub..bub…bubbles…”suaranya melengking menirukan nyanyian Hi-5 yang selalu dilihatnya di kids central setiap sore. Kakinya yang mungil bergerak-gerak mengikuti irama, tangannya direntangkan sembari berputar-putar.
Mulut kecilnya terlihat sibuk bernyanyi sembari sesekali meniup balon-balon sabun yang kami belikan sore tadi dari pasar Bangkit. Aku hanya tersenyum dari kejauhan menyaksikan tingkah lucunya itu.
Ah… Anakku, tetaplah tersenyum dan menari seperti hari ini, biarkan derai tawa dan bahagia mewarnai setiap inci kehidupanmu. Lambungkan cita dan dambamu seperti bubble-bubble yang kau tiup tinggi ke atas sana, diiringi nyanyian merdumu. Biarkan kau raih semuanya dengan senyum yang selalu terulas di bibirmu.
Nak….lihatlah, tak semua bubble yang kau tiup terbang ke atas sana. Ada yang hanya terbang rendah lalu sirna tertiup angin, ada pula yang langsung jatuh menyentuh tanah. Itulah gambaran hidupmu anakku…, tak selalu bahagia dan suka cita akan kau dapat. akan ada tangis, kecewa dan derita mewarnainya. Namun… tetaplah tegar menghadapinya seperti bubble-bubble yang kau tiup dengan susah payah, kau tak pernah lelah meniupnya dan berusaha agar bubble itu terbang jauh ke atas sana sehingga tawamu tergerai dan sorakmu membahana melihat bubble mu jauh mencapai langit.
Anakku… suatu saat engkau harus meniupnya dengan sedikit tenaga jika anginnya tak ada. Dan dilain waktu kau harus hati-hati, perlahan meniupnya agar bubblemu tak cepat pecah karena hembusan nafasmu sendiri. Berhati-hatilah dalam segala hal nak…
Dan Ingatlah anakku…. Apapun jua yang kau terima semua adalah kehendak-Nya, bukti kasih sayang-Nya untukmu, jadi….tetaplah lukiskan senyum di bibirmu atas nikmat dan ujianNya. Hadirkan selalu Nama-Nya di hatimu. Seperti bubble mu yang bercahaya dan penuh warna.
Namanya Halwa Aulia Nurdin putri pertamaku yang lahir 3 tahun yang lalu. Ia anak yang manis dan agak malu-malu. Perasaannya agak halus hingga selalu saja ai menekuk bibirnya ke bawah dengan linangan air mata jika ada hal yang tidak sesuai dengan harapan dan keinginannya.
Ah…ia masih terlalu kecil, namun aku selalu saja menuntut lebih dari kemampuannya. Hardikku selalu saja terlontar manakala ia melakukan hal yang menurutku tidak baik, dan lagi-lagi ia menunduk dengan berlinang air mata.
Air matanya seolah pisau-pisau yang menancap di jantungku, terasa perih dan sakit. Rasa sesal membahana , harusnya aku tak sekeras itu padanya, bukankah ia hanya anak kecil yang belum mengerti apa arti dari setiap kata yang terucap dari bibirku kala nasihat-nasihatku mengalir tanpa henti.
Egois…kata yang tepat untuk ku sandang, mengapa aku kadang tak mau mengerti akan apa yang diinginkannya. Mengapa aku selalu saja kekanak-kanakan dalam menghadapinya. Mengapa dia harus selalu menurut akan apa yang ku katakana padanya. Mengapa ia harus menjadi sosok yang ku inginkan..????
Sebetulnya selama ini bukan ia yang nakal dan membuat ulah tetapi…..aku yang kurang bijaksana dalam bersikap terhadapnya.
Jalan panjang jalan gersang Onak dan duri mengitari Langkah kecil kita semakin tertati Terseret terhempas dan terhanyutkan
Ada takut yang bergelayut di sudut hati Tersembunyi dibalik asa dan damba Namun cintamu membawa bahagia Menari-nari dalam tawa
Luka –luka yang mengaga Terselimuti belai lembut kasihmu Hingga perih dan rintihnya Hampir tak kurasakan lagi
Matahariku… Tetaplah sinari jalan kita Hangatnya menembus terasa ke relung kalbu Melelehkan duka lara yang slama ini beku dan mengkristal di jiwa.
Jalan panjang jalan gersang Kedua tangan kita takkan pernah lelah Singkirkan onak dan durinya Sedikit luka dan darah yang terasa Kan sirna oleh beningnya cinta kita.
Untuk suamiku: salutku untukmu yang telah dengan begitu sabar menjalani hari-hari kita yang tak pernah lepas dari banyak salah, khilaf dan alfa yang ku hadirkan di dalamnya.
Akan cinta dan sayang yang kau berikan untuk anak-anakmu. Kami merasakan belai lembut dan sayang mu yang senantiasa mengucur tanpa sisa, bahkan untuk dirimu sendiri…
Akan pengorbananmu yang selalu kau persembahkan demi melihat senyuman terukir di bibirku.
Akan semua waktu yang telah kau berikan sepenuhnya untuk ku Semenjak kau melahirkanku, kau tak pernah lagi punya waktu untuk dirimu sendiri. Semua waktu dan masa yang kau punya terlimpah padaku.
Akan masa muda yang kini tlah tergantikan membuatmu merasa sedih karena kini kau tak lagi seperti dulu dapat melakukan segalanya untukku.
Akan maaf dan pengampunan atas salah dan khilaf yang selalu saja ku buat .
Kami yang serba lebih…..
Setelah semua cinta yang kau punya ku kuras… hanya sebagian kecil yang mampu ku berikan kembali….hanya setitik dari yang kau beri…
Ku punya waktu yang banyak untuk melakukan segala hal. Tapi…..waktu yang ku beri untukmu hampir tidak ada…walau hanya meluangkan waktu tuk melihatmu tersenyum dan menanyakan keadaanku, ‘Anakku apa kau baik-baik saja..?” Oh….
Setiap saat setiap waktu ku berdo’a kepada-Nya…lagi-lagi yang banyak ku pinta padaNya hanyalah untuk diriku sendiri….
Mamah….selalu saja kau merasa kekurangan untuk semua yang kau persembahkan untukku, akan cinta, kasih sayang, pengorbanan,waktu,tenaga, harta dan bahkan kalau ku pinta kau kan berikan nyawamu. Dalam setiap do’a yang terucap dari bibirmu, dalam sholat-sholat malammu selalu ada namaku….
Namun…, hanya inginku, hanya anganku, hanya mimpiku tuk bisa selalu di sisimu, menemanimu menghitung rambut yang masih menghitam di kepalamu, memapah dan membimbingmu yang selalu tertatih jika berjalan karena reumatik yang kau derita, atau hanya tuk membuatkanmu secangkir teh manis di setiap pagimu.
Mamah….maafkan aku untuk semua kelebihan cinta, sayang, serta waktu ku yang tak ku persembahkan untuk hari tuamu….
Goresan pena ungkapan rasa jadi perantara hati untuk mengkomunikasikan hasratnya. Selama ini ingin hanya jadi angan-angan dan hasrat hanyalah sebatas mimpi. "Katakanlah dengan bunga..." apa iya bunga dapat mewakilkan rasa? bukankah kadangkala wangi bungapun tak seindah rupanya? Maka... ungkapkanlah dengan kata. Semua rasa, semua cita dan semua ungkapan jiwa akan terurai lewat kata-kata...dan...semua orang akan memahami siapa diri anda...
Puisi ini yang pertama kali ku bawakan dalam suatu lomba di sekolah agama waktu aku masih kelas 3 SD. Sayang aku tak ingat lagi siapa pengarangnya, sesaat aku turun dari panggung wali kelasku berkomentar ”besok-besok kalau lomba lagi bawa obeng ya..”katanya. wah….rupanya saat ku diatas panggung lututku tak henti-hentinya bergerak karena gemetaran hehehe…maklum pengalaman pertama… Dan sedihnya….aku ga menang dalam lomba itu hik..hik….hik…
Dandanan yang sederhana, gaya yang anggun dan wajah yang manis membuatku menoleh kearahnya . Dia tersenyum manis ke arahku. ‘Assalamu’alaikum…” sapanya ramah. ‘Waalaikumsalam…’ jawabku sambil tersenyum.
Semakin hari kami semakin akrab. Bukan hanya karena kami sekelas di PGTK Darul Qalam tempat kami kuliah, lebih dari itu kami merasa memiliki banyak kecocokan dalam segala hal. Pemikiran kita sering kali sejalan dan yang paling membuat kami dekat adalah karena…’sama-sama orang sunda..he..he…
‘Va, jangan tinggalin Memey ya…,kalo kamu pergi trus aku sama siapa…?” bujukmu pada suatu saat. Aku hanya diam tak menjawab. Wajah memelas Memey yang memintaku untuk tetap tinggal tak membuatku mengurungkan niat untuk pindah mengajar dari TK Darul Qalam Bekasi ke kampung halamanku saat itu.
Dengan tenang aku tetap melangkah , tas yang kubawa serasa begitu berat . Semua baju dan peralatanku telah masuk di dalamnya. Mentari siang itu terasa begitu terik. Memey berjalan gontai di sampingku. Tak seperti biasanya diantara kami tidak ada canda, tawa atau sekedar percakapan ringan untuk mengisi suasana .
Sepanjang jalan di dalam angkot 39 yang membawa kami dari Kota Legenda ke terminal Bus Bekasi, air matanya tak henti-henti mengucur. Ada sesal dan terbesit rasa sedih di hatiku saat itu, aku membuatnya menangis, ya…aku membuat sahabatku menangis untuk pertama kalinya….tetapi untuk yang kesekian kalinya aku tetap membisu menyaksikan air matanya yang semakin deras mengalir. Aku hanya mampu menunduk pada saat itu…”maafkan va, mey….” Bisiku tertahan dikerongkongan karena air matakupun mulai berhamburan keluar.
Siang itu menjadi saksi berakhirnya kebersamaan kami. Besoknya aku pergi meninggalkan semua cerita kebersamaanku bersama Memey. Tetapi yakinlah Mey….walau kini kita jauh kenangan indah tentang kebersamaan kita selalu terpatri dalam ingatan.
Terlalu banyak kisah yang harus ku tulis untuk menceritakan kebersamaan kita. Aku hanya dapat menulis tentang perpisahan itu…
Dalam kenangan, Sahabatku terkasih Mesti M. Kebersamaan kita adalah bunga yang tetap mewangi selamanya…
Putriku… Jadilah sekuat karang Yang slalu tetap tenang Walau ombak menerjang
Lemah lembutlah laksana kapas Hingga ta’kan ada tangan terluka Karna menyentuhmu
Puteriku… Tak perlu bentengi hatimu dengan Angkuh dan sombong. Tembok-temboknya kan jadi jurang pemisah dengan si papa
Nista jangan kau sapa Menjilat si kaya dan yang punya kuasa,. Bersahaja dan sederhana jadikan teman hidup setia. Sopan santun budi bahasa Cermin jiwa yang mulia.
Putriku…. Tetap ada di jalan-Nya Tak perlu lelah melangkah Cintai Allah dan Rasul-Nya Tuk raih bahagia selamanya…
Singapore, 4 Juli 2005, Untuk putriku tersayang, Halwa Aulia Nurdin.